Produksi dunia pertanian harus meningkat sebesar 70% untuk memenuhi permintaan pangan pada tahun 2050 (Aznar-S´anchez et al., 2020). Pencapaian tujuan ini dapat dilakukan dengan dau alternatif yaitu i) perluasan lahan budidaya sekitar 37% dari total permukaan yang tersedia pada tahun 2017 (FAOSTAT, 2020), atau ii) peningkatan produksi kawasan budidaya, yang dapat memperluas lahan budidaya hingga 38%, dengan peningkatan konsumsi air sebesar 53% secara global (Alexander et al., 2015; Aznar-S´anchez et al., 2020). Oleh karena itu, meskipun peningkatan produksi pertanian telah menjaga keseimbangan antara produksi dan pelestarian alam, hal itu telah menciptakan tantangan utama dalam pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan jangka panjang.

Circular Economy (CE) mewakili strategi yang menjanjikan untuk menghemat sumber daya yang relevan dan mengurangi dampak lingkungan negatif kegiatan pertanian sambil meningkatkan kinerja ekonomi (Stegmann et al., 2020). Ellen MacArthur Foundation, mendefinisikan circular economy sebagai “sistem ekonomi loop tertutup di mana bahan baku, komponen, dan produk mempertahankan kualitas dan nilainya selama mungkin dan sistem didorong oleh sumber energi terbarukan”. Berbeda dengan ekonomi linier, ekonomi sirkular adalah model yang bertujuan untuk mempertahankan komponen, material, dan produk pada tingkat tertingginya, utilitasi untuk menghilangkan pemborosan dari suatu sistem, meskipun saat ini hanya 9% nilai circularity dunia (EMF, 2013), namun ada kemungkinan peningkatan sebesar 91% (Circle Economy, 2018).

Ekonomi sirkular dapat membawa keuntungan strategis, operasional, dan kompetitif yang tak terhitung jumlahnya. Praktik ekonomi sirkuler dapat menawarkan peluang untuk mengurangi emisi GRK di sektor pertanian melalui sirkulasi bahan baku, limbah pertanian, dan pupuk kandang. Selain itu, bioenergi dapat berkolaborasi secara tajam ke sektor ini melalui biogas dengan pembangkit listrik bersih, pembangkit panas, produksi biometana, dan produksi biofertilizer (Caposciutti, 2020). Beberapa lokasi di seluruh dunia telah mengambil inisiatif terhadap penggunaan biogas, untuk keuntungan lingkungan dan menciptakan nilai dari limbah.

Produksi tanaman merupakan konsumen utama air dan energi secara global (Chen et al., 2020). Selain itu, pertanian menyumbang lebih dari 90% dampak lingkungan terkait lahan dan air, seperti tekanan air dan hilangnya keanekaragaman hayati (EMF, 2019), dan merupakan kontributor penting terhadap toksisitas manusia akibat paparan pestisida terhadap pekerja pertanian (EMF, 2019b; Velasco-Munoz, 2021). Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengidentifikasi cara meningkatkan efisiensi sumber daya dan keberlanjutan produksi tanaman dengan mengadopsi praktik ekonomi sirkular.

Penggunaan ekonomi sirkular dalam pertanian telah menjadi sorotan dalam konteks dunia. Salah satu contohnya baru-baru ini ditunjukkan oleh World Economic Forum, sebagai salah satu inisiatif untuk mengembangkan sistem pangan yang berkelanjutan, efisien, dan bergizi di sektor pertanian. Praktik ekonomi bergeser dari ekonomi linier menuju ekonomi sirkular. Aplikasi global disajikan oleh para peneliti di beberapa bidang, seperti produksi jamur, produk susu, agrifood, penggunaan pupuk, penggunaan biochar, dan efisiensi fosfor (Barros, 2020). Alternatif ekonomi sirkuler dapat memberikan manfaat yang konsisten bagi agrobisnis, mengingat pengelolaan bahan baku dan limbah yang lebih baik, menghasilkan energi yang lebih bersih, meningkatkan efisiensi energi, dan menghindari biaya. Oleh karena itu, sirkulasi bahan baku dan limbah di sektor ini sangat penting untuk masa depan yang lebih bersih, terbarukan, dan berkelanjutan.

Comments are closed