Kesepakatan global yang tertuang pada Perjanjian Paris 2015, menjadi momentum 195 negara untuk mencapai NZE (Net Zero Emission) di tahun 2050 dalam menghadapi perubahan iklim (World Bank, 2022). Untuk memperoleh tujuan zero emissions, tentunya perlu mengeksplorasikan berbagai pilihan penyelesaian masalah dengan skenario dalam jangka waktu yang panjang.
Salah satu masalah penyumbang emisi yang berkelanjutan berasal dari sektor persampahan. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dengan metode open dumping menghasilkan 60% CH4 (metana) dan 40% CO2 (karbon dioksida) pada saat proses pembusukan yang kurang baik. Serta, diketahui bahwa emisi CH4 dari TPA dan tempat pembuangan sampah lainnya menyumbangkan 19% CH4 dari total emisi CH4 global (IPCC, 2013). Masalah ini tentu saja akan terus bertambah, mengingat pertambahan populasi, gaya hidup, dan konsumsi akan semakin meningkat. Pada tahun 2050 diproyeksikan timbulan sampah dunia akan mencapai 3,4 juta ton (Kaza et al., 2018). Untuk itu, perlu adanya perubahan metode pengelolaan persampahan dengan mengurangi beban TPA dalam memproses timbulan sampah.
Pengelolaan persampahan merupakan sebuah sistem yang kompleks (Ikhlayel, 2018), dimana membutuhkan elemen tertentu untuk mencapai keberlajutan (Seadon, 2010). Faktanya, praktik keberlanjutan harus menggunakan pendekatan yang menyeluruh yang mempertimbangkan tiga dimensi, yaitu lingkungan, sosial, dan ekonomi (Zhou et al., 2019). Keberlanjutan menjadi bagian penting dalam pengelolaan persampahan, dimana pengelolaan sampah berkelanjutan akan membentuk suatu sistem yang terhubung melalui proses pengolahan, pemilihan teknologi, kemampuan beradaptasi, dan keragaman jenis sampah, dari proses pembuatan hingga pembuangan. Pengelolaan sampah berkelanjutan memberikan gambaran yang lebih besar dalam menjamin perlindungan lingkungan, keseimbangan sosial, stabilitas ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan.
Pengelolaan sampah berkelanjutan pada dasarnya perlu mempertimbangkan prioritas pengelolaan dengan penanganan harus dimulai dari puncak teratas untuk meminimalisir pembuangan sampah di TPA. Pada tahap Prevention dan Minimization, pencegahan yang dapat dilakukan adalah memilih barang yang tahan lama dan meminimalisir konsumsi barang berlebihan. Selanjutnya, dapat melakukan Reuse atau penggunaan kembali barang yang layak pakai. Lalu, tahap berikutnya Recycling atau daur ulang barang lama menjadi baru. Sampai pada tahap tersebut, biaya pengelolaan lebih terjangkau, mudah dilakukan oleh masyarakat umum, dan relatif memiliki nilai ekonomis. Sedangkan, tahap Energy Recovery dan Disposal biaya pembangunan dan operasional yang diperlukan cukup besar, serta membutuhkan keahlian tertentu. Sehingga, dalam melaksanakan pengelolaan sampah berkelanjutan ini perlu kerja sama yang dimulai dari individu, komunitas, sampai dengan pemerintah.
(aisy/aka)
Comments are closed