
Perubahan iklim mempercepat hilangnya keanekaragaman hayati pada tingkat yang mengkhawatirkan, mengubah distribusi kehidupan di bumi itu sendiri (Burrows et al., 2014), mengikis ekonomi, mata pencaharian, ketahanan pangan, kesehatan, dan kualitas hidup di seluruh dunia (IPBES, 2019). Perubahan transformatif global sangat dibutuhkan untuk mengatasi krisis eksistensial ini. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan Intergovernmental Science – Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) telah mengakui ketergantungan dan interaksi antara hilangnya keanekaragaman hayati dan perubahan iklim, tidak terkecuali dalam peran biosfer dalam mengatur iklim ekstrem. Baik IPCC maupun IPBES menyerukan tindakan masyarakat yang mendesak untuk mengurangi jejak ekologis manusia dan dekarbonisasi ekonomi global.
Kondisi iklim yang berubah dengan cepat mengancam kelangsungan hidup jangka panjang banyak spesies (Urban, 2015), menyebabkan kepunahan lokal yang meluas (Albano et al., 2021) dan berkontribusi pada kepunahan global spesies (Cahill et al., 2013). Pada tahun 2070, 35% mamalia dan 29% burung diproyeksikan memiliki lebih dari setengah relung iklim mereka di negara-negara di mana tidak ditemukan saat ini (Titley et al., 2021). Perubahan iklim juga mengancam integritas banyak ekosistem di seluruh dunia, termasuk dua ekosistem yang paling beragam di dunia seperti terumbu karang dan hutan tropis (França et al., 2020). Hilangnya keanekaragaman hayati semakin memperdalam krisis iklim, degradasi dan/atau hilangnya ekosistem yang cepat seperti mangrove, hutan tropis, lahan gambut dan lamun (Loisel et al., 2021; Pettorelli, 2021), serta berdampak besar pada kemampuan planet kita untuk menyimpan karbon, sekaligus mengurangi kemampuan alam dan manusia untuk beradaptasi dan mengatasi perubahan kondisi iklim.
Mengingat keterkaitan ini, tidak mengherankan jika ada peningkatan pengakuan ilmiah dan politik akan perlunya pendekatan global yang lebih terintegrasi untuk mengatasi krisis iklim dan keanekaragaman hayati. Kebijakan dalam menetapkan target iklim dan keanekaragaman hayati harus dicapai jika ingin menghindari dampak terburuk, misalnya target 2°C yang ditetapkan masing-masing oleh Perjanjian Paris 2016 dan Aichi Biodiversity Targets 2020. Namun, sebagian besar gagal memenuhi Target Aichi (Tittensor et al., 2014), sementara semua bukti menunjukkan bahwa target yang ditetapkan oleh Perjanjian Paris 2016 untuk membatasi kenaikan suhu global abad ini juga akan sulit untuk dipenuhi (IPCC, 2018; O’Connor, 2019). Sekarang menjadi lebih penting dari sebelumnya untuk menetapkan target iklim dan keanekaragaman hayati yang kuat, dan untuk dapat memantau kemajuan menuju target ini secara efektif.
Comments are closed