Menteri Lingkungan Hidup dan perwakilan dari Negara-negara Anggota PBB mendukung resolusi bersejarah pada UN Environment Assembly (UNEA-5) di Nairobi untuk mengakhiri polusi plastik dan membentuk perjanjian internasional yang mengikat secara hukum pada tahun 2024 (UN, 2022). Resolusi tersebut, berdasarkan tiga rancangan resolusi awal dari berbagai negara, membentuk Intergovernmental Negotiating Committee (INC) pada tahun 2022, dengan ambisi untuk menyelesaikan rancangan perjanjian global. Resolusi tersebut diharapkan untuk menyajikan instrumen yang mengikat secara hukum, yang akan mencerminkan beragam alternatif untuk mengatasi seluruh siklus hidup plastik, merancang produk dan bahan yang dapat digunakan kembali dan didaur ulang, dan perlunya peningkatan kolaborasi internasional untuk memfasilitasi akses terhadap teknologi, peningkatan kapasitas dan kerja sama ilmiah dan teknis.
Sejalan dengan negosiasi mengenai perjanjian yang mengikat secara internasional, UNEP akan bekerja sama dengan pemerintah dan dunia usaha di seluruh rantai nilai untuk beralih dari plastik sekali pakai, serta untuk memobilisasi pendanaan swasta dan menghilangkan hambatan terhadap investasi dalam penelitian dan upaya ekonomi sirkular. Produksi plastik melonjak dari 2 juta ton pada tahun 1950 menjadi 348 juta ton pada tahun 2017 dan diperkirakan akan meningkat dua kali lipat kapasitasnya pada tahun 2040. Polusi plastik adalah salah satu tantangan lingkungan terbesar, dimana polusi plastik kini ditemukan di setiap sudut dunia: di lautan, tanah, air minum, tubuh manusia dan hewan, dan bahkan di udara. Meningkatnya kekhawatiran pemerintah, aktivis, dan media berita mengenai akumulasi plastik mencerminkan peningkatan eksponensial penggunaan plastik di masyarakat modern (Geyer, Jambeck, & Law, 2017). Krisis plastik global menghadirkan beragam tantangan di antaranya adalah keberadaan plastik di mana-mana, keberadaannya di alam, dan dampak polusi plastik lintas batas.
Pengelolaan sampah kini beralih dari fokus benda-benda yang relatif mudah diatur (misalnya kantong plastik, dan botol) dan beralih ke benda-benda yang lebih kompleks (misalnya kemasan makanan, tekstil, dan ban). Poin utama yang muncul dari kajian mengenai benda-benda plastik secara agregat adalah bahwa benda-benda yang berbeda mempunyai sifat material yang berbeda (dapat dibuang, tahan lama, mudah terurai) yang mempengaruhi cara penggunaannya. Keberagaman sifat material inilah yang menjadikan krisis plastik begitu kompleks, namun hal ini juga menawarkan banyak cara untuk melakukan pendekatan terhadap pengelolaan plastik. Misal, kemasan plastik dapat dipandang sebagai masalah pencemaran laut, kekhawatiran akan toksisitas, persoalan penanganan sampah, atau manufaktur (Nielsen, 2019). Sehingga pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan perlu melakukan pendekatan terhadap pengelolaan plastik secara lebih holistik, karena perbaikan yang menangani bagian tertentu dari siklus hidup plastik dapat diatasi dengan pengembangan di bagian lain. Hal ini menunjukkan semakin penting untuk mempertimbangkan seluruh siklus hidup plastik, sehingga mampu menciptakan kebijakan yang paling berdampak.
Comments are closed