Indonesia memegang peranan penting dalam pasar nikel global, sebagai produsen bijih nikel terbesar. Hingga tahun 2020, Indonesia menyumbang sekitar 30% dari produksi nikel dunia, dengan cadangan diperkirakan mencapai 21 juta metrik ton, menjadikannya negara dengan persediaan nikel terbesar secara global (Qaseem, 2023; Setyagama, 2024). Sumber daya nikel terutama terdapat dalam bijih laterit, yang melimpah di wilayah tropis seperti Indonesia, khususnya di Pulau Sulawesi (Rasyid et al., 2016; Putera et al., 2023). Keunggulan geologis ini menempatkan Indonesia sebagai pemain kunci dalam rantai pasokan nikel, terutama karena permintaan global terhadap nikel meningkat karena perannya yang penting dalam baterai kendaraan listrik dan energi terbarukan.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah menerapkan perubahan kebijakan signifikan yang bertujuan untuk meningkatkan nilai domestik sumber daya nikelnya. Salah satu langkah penting adalah pelarangan ekspor bijih nikel mentah yang mulai berlaku pada 1 Januari 2020. Kebijakan ini dirancang untuk mendorong pembangunan fasilitas pengolahan nikel dalam negeri dan memastikan Indonesia memperoleh lebih banyak manfaat dari sumber daya alamnya daripada mengekspornya dalam bentuk mentah (Setyagama, 2024; Arum, 2024). Alasan di balik pelarangan ekspor ini adalah untuk mendorong penanaman modal asing di sektor pengolahan, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi di dalam negeri (Qaseem, 2023; Pandyaswargo et al., 2021). Larangan ini telah mendorong peningkatan investasi dalam peleburan dan pemurnian nikel, yang penting untuk menghasilkan produk nikel bernilai tinggi.
Keberlanjutan lingkungan dari produksi nikel menjadi perhatian yang mendesak mengingat status negara Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia. Ekstraksi dan pemrosesan nikel memiliki dampak lingkungan yang signifikan, termasuk emisi gas rumah kaca, pencemaran tanah dan air, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Seiring meningkatnya permintaan nikel, terutama untuk penggunaan baterai kendaraan listrik, industri menghadapi tekanan yang semakin besar untuk mengadopsi praktik yang lebih berkelanjutan.
Produksi nikel dikaitkan dengan konsumsi energi dan emisi gas rumah kaca yang cukup besar. Penggunaan energi untuk penambangan dan pemrosesan nikel dapat berkisar antara 30 hingga 600 GJ per ton nikel yang diproduksi, tergantung pada metode ekstraksi dan pemrosesan yang digunakan (Mervine et al., 2023). Permintaan energi yang tinggi ini berkontribusi terhadap emisi karbon yang substansial, yang sangat penting dalam konteks perubahan iklim global. Lebih jauh, proses peleburan, yang merupakan tahap utama dalam produksi nikel, telah diidentifikasi sebagai yang paling berdampak terhadap lingkungan, mencakup lebih dari 50% dari total beban lingkungan yang terkait dengan produksi nikel (Shu & Gong, 2018). Sehingga, peningkatan efisiensi energi dan pengurangan emisi selama pemrosesan sangat penting untuk meningkatkan kinerja lingkungan dari produk nikel.
Comments are closed